Jumat, 17 Desember 2010

Orang Bugis adalah Perantau

Suku Bugis memang dikenal sebagai suku perantau, dimana sebagian besar orang bugis turun temurun melakukan perantauan. Memang seperti sebuah tradisi, namun hal ini dapat juga kita lihat nenek moyang orang bugis yang mampu berlayar mengarungi samudra luas. Terlebih lagi perahu yang digunakan adalah perahu layar yang lebih dikenal dengan "Perahu Pinisi".
Jadi jangan heran bila di beberapa tempat dapat kita temui orang-orang bugis baik yg bermukim maupun yang hanya sementara. Dijakarta contohnya, ada beberapa tempat yang bisa kita temui terdapat orang-orang bugis yang bermukim. seperti di kampung makassar, di tanjung priok, dll sebagainya.
Bahkan di luar negeri pun Bugis dikenal, seperti contohnya di singapore ada sebuah jalan yang dinamakan "Bougies Street" bahkan ada sebuah pusat perbelanjaan yang namanya tidak asing lagi dengan suku bugis.
Ini merupakan contoh kecil dari beberapa tempat perantauan suku bugis, dimana mereka memijakkan kaki untuk sebuah pengalaman dan petualangan.
Suku bugis merupakan suku yang besar dan sangat dikenal, karena itu suku bugis yang berasal dari daerah "sulawesi selatan" tepatnya di bone, soppeng, wajo, sinjai, bulukumba, maros, dan dibeberapa tempat lain, menempatkan diri pada suatu perubahan yang besar, dengan arus globalisasi dan kecanggihan tekhnologi, tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus berkreasi demi bangsa dan negara ini.
Walaupun demikian Suku bugis tetap komitmen pada adat istiadat yang selama ini mereka jalankan, melalui beberapa tradisi, adat, dan hal hal yang berbau mistik sekalipun.
Demikianlan Bugis yang terkenal sebagai suku perantauan.


salama'
Selanjutnya »

Senin, 06 Desember 2010

Kebiasaan Kata kata Sopan Orang Bugis

Beberapa orang menganggap suku bugis itu kurang sopan dalam berkata kata atau dalam logatnya, tapi itu sebenarnya karena orang2 tersebut belum mengerti bagaimana kata-kata sopan itu di gunakan oleh orang bugis.

namun sebagian besar pulang mengatakan bahwan suku bugis asli sangatlah berAdat dan penuh dengan sopan santun, karena memang itulah kenyataannya. banyak kata-kata yang sebenarnya harus dipahami oleh orang lain dalam pergaulannya di lingkungan adat BUGIS.

Tapi, dalam postingan kali ini akan saya contohkan beberapa kata yang sopan dan sering digunakan dalam keseharian orang bugis.


Contohnya "iye'" yang kalau dalam bahasa bakunya "iya". menggunakan kata "iye'" adalah sopan bagi orang bugis, apalagi dalam berbicara kepada orang yg lebih tua atau orang yg di hormati. namun sebaliknya, menjawab dengan kata"iyo" adalah sangat tidak sopan dan dianggap kurang ajar.


masih banyak contoh2 lain yang dapat kita pelajari, mungkin ada dari teman teman yg lain yang bisa memberikan komentar ataupun masukan tentang kata-kata sopan dalam bahasa bugis.
bagi yang mau bertanya juga akan kami tanggapi dengan senang hati.


pintu kami akan selalu terbuka bagi siapa saja, yang penting dengan niat yang baik.


terima kasih

Selanjutnya »

Selasa, 06 Juli 2010

Teknologi Perahu Pinisi

Suku Bugis Makassar adalah salah satu pewaris bangsa bahari. Banyak bukti yang menunjukkan kepiawaian mereka menguasai laut dengan perahu layar. Perantauan mereka sudah terkenal sejak beberapa abad lalu. Ditemukannya komunitas orang-orang Bugis Makassar di beberapa kota di Indonesia merupakan bukti perantauan mereka sejak dahulu. Mereka tidak hanya menguasai perairan wilayah nusantara, tetapi sejak beberapa abad lalu juga melanglang buana jauh melampaui batas-batas negara. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa sejak dulu pelaut Bugis Makassar telah sampai di Semenanjung Malaka, Singapura, Philipina, Australia Utara, Madagaskar dan sebagainya . Dalam melakukan pelayaran ke berbagai penjuru Nusantara maupun negara lain, para pelaut Bugis Makassar menggunakan alat transportasi tradisional yaitu perahu. Perahu yang mereka gunakan itu ada beberapa jenis. Salah satu jenis yang digunakan dalam kurun waktu terakhir ini ialah perahu Pinisi. Perahu Pinisi telah digunakan oleh pelaut Bugis Makassar sejak ratusan tahun lalu. Di luar Sulawesi selatan, dulu perahu Pinisi lebih dikenal sebagai perahu Bugis, Hal ini disebabkan karena yang menggunakannya kebanyakan orang Bugis atau setidaknya pandai berbahasa Bugis. Walaupun orang Bugis Makassar terkenal sebagai pelaut ulung dengan menggunakan perahu tradisional yang kokoh, tetapi ternyata perahu yang mereka gunakan tersebut dibuat oleh satu komunitas tukang perahu dari Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Kecamatan Bontobahari (Ara, Bira, Lemo-lemo/Tanahlemo), kondisi geografisnya berbeda dengan kecamatan lain di bagian utara dan bagian barat Kabupaten Bulukumba. Di kecamatan ini sebagian besar tanahnya terdiri dari bukit kapur yang gersang dan hanya ditumbuhi padang rumput dan semak belukar. Sangat sedikit tanah yang dapat dijadikan lahan pertanian untuk menghidupi warganya. Itulah sebabnya kebanyakan penduduk daerah ini memilih pekerjaan di sektor kebaharian sebagai profesi mereka yaitu bertukang perahu dan pelaut. Keahlian berlayar bagi orang Bugis Makassar telah dikenal sejak sekitar abad XVI. Dengan demikian berarti sejak waktu itu pula keahlian membuat perahu sudah berkembang. Penggunaan perahu di Sulawesi selatan telah berlangsung sejak dahulu. Menurut beberapa sumber perahu yang dipergunakan masyarakat pesisir ada beberapa jenis. Tetapi perlu diketahui pada umumnya perahu yang mereka gunakan adalah perahu kecil yang dipergunakan untuk menunjang aktifitas mereka sehari – hari. Menurut legenda, perahu besar mulai dikenal di Sulawesi selatan sejak zaman Sawerigading seperti disebutkan di dalam Lontarak I lagaligo. Sawerigading adalah putra Raja Luwu yang diyakini pertama kali menggunakan perahu yang berukuran besar. Konon perahu tersebut dibuat dengan kekuatan magis/ghaib di dalam perut bumi oleh neneknya yang bernama La Toge Langi (gelar Batara Guru). Karena melanggar sumpah, dalam suatu perjalanan perahu Sawerigading dihantam badai dan pecah ditelan gelombang. Kepingan-kepingan perahu tersebut hanyut dan terdampar di beberapa tempat disekitar Tanjung Bira, Sebahagian besar badan perahunya terdampar dipantai Ara, sotting/Linggi perahu terdampar di Lemo-lemo sedangkan layar dan tali temalinya terdampar di Bira. Orang Ara mengumpulkan kepingan-kepingan perahu tersebut lalu menyusunnya kembali (nipuli paso’–direkonstruksi). Selanjutnya mereka percaya bahwa dari hasil rakitan itulah nenek moyang mereka mendapatkan ilham dasar membuat perahu yang disusun dari lembaran–lembaran papan. Mereka percaya konstruksi perahu sawerigading telah dibakukan oleh nenek moyang mereka yang selanjutnya menjadi pola dasar dari perahu yang terkenal yakni Pinisi. Bagi orang Lemo-lemo (Tanahlemo) percaya pula bahwa keahlian membuat perahu yang mereka miliki bersumber dari penemuan bagian perahu Sawerigading. Demikian pula orang Bira, mereka percaya bahwa keahlian berlayar yang mereka miliki sejak dahulu diwarisi dari penemuan layar dan tali temali perahu Sawerigading
Selanjutnya »

Jumat, 14 Mei 2010

Songkok to Bone

Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya.
 Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.

Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.

Sejak kapan munculnya Songkok Recca’ (Songkok To Bone)?

Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.

Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.

Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.

dikutip dari www.bone.go.id
Selanjutnya »

Minggu, 21 Maret 2010

Bajau Pela'u Terancam Deportasi dari Indonesia

Suku Bajau Pela'u berbeda dengan suku Bajau lainnya dalam hal cara dan tempat hidup mereka.Bajau Pela'u adalah bagian dari suku Bajau yang masih mempertahankan hidup di atas perahu seperti nenek moyang semua bangsa Bajau sampai kurang lebih seabad lalu, tidak seperti suku bajau lainnya yang dewasa ini sudah bermukim di atas rumah-rumah meskipun sebagian masih di atas air juga. Dengan cara hidup seperti itu Bajau Pelau tetap dapat mengikuti sebagian dari pola pergerakan nenek moyang mereka disepanjang jalur-jalur kuno persebaran mereka di seluruh perairan nusantara.
    Pergerakan suku bangsa Bajau meliputi Filipina bagian Selatan melalui pesisir pantai Timur Laut pulau Borneo di Barat dan melalui Kepulauan Sangihe-Talaud di Timur masing-masing menuju Selatan. Jalur pantai Timur Laut Borneo ini menyusuri negara bagian Sabah dan wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Jalur itu kemudian bercabang di Tanjung Mangkalihat. Sebuah jalur diteruskan dengan memutari tanjung lalu menyusuri pantai Timur Kalimantan ke arah Selatan. Jalur lainnya menyeberangi Selat Makassar yang ketika sampai di Pantai Sulawesi bisa bercabang lagi, satu menuju Utara dan satunya lagi menuju Selatan, sehingga jalur pergerakan suku Bajau terdapat pada kedua sisi pantai Selat Makassar. Sampai saat ini pemukiman orang Bajau terdapat di berbagai tempat di pantai Timur Kalimantan dan juga di pantai Barat Sulawesi. Orang Bajau dapat ditemukan di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, namun absen di wilayah Sulawesi Barat, kemudian bekas-bekasnya yang sudah terakulturasi dengan Bugis-Makassar, masih dapat ditemukan di Kepulauan Spermonde dan lebih ke Selatan lagi di Pulau Selayar orang Bajau masih bisa dijumpai. Bajau tidak ditemukan di wilayah Mandar karena perairannya yang langsung dalam di bibir pantai. Bajau selalu memilih perairan dangkal yang terdapat banyak karang dan pulau-pulau sebagai tempat beredar dimana mereka dapat menggantungkan hidup dengan teknologi hunting and gathering yang paling sederhana sekalipun.
    Selama dua tahun terakhir orang Bajau Pela'u beredar di Kalimantan Timur. Tepatnya bergerak disekitar Pulau Balikukup, Tanjung Buaya-buaya dan Desa Batuputih. Mereka memanfaatkan sumberdaya koral dan perairan Pulau Balikukup dan Tanjung Buaya-buaya, sementara Batuputih, disamping Balikukup, dijadikan tempat memperoleh keperluan hidup: beras dan bahan makanan lainnya, air tawar, bahan bakar, pakaian dan peralatan rumah tangga bahkan buah-buahan pada musimnya. Namun sepuluh hari terakhir ini 103 jiwa orang Bajau Pela'u itu dibawa ke ibukota Kabupaten Berau di Tanjung Redeb oleh Polisi untuk diproses deportasi ke Malaysia. Ya, mereka memang bukan Warga Negara Indonesia, datangnya dari Malaysia tapi juga bukan warga negara Malaysia, asalnya dari Filipina tapi juga tidak serta merta dapat dianggap sebagai warga negara Filipina karena tidak memiliki surat keterangan identitas apapun. Angkatan Laut Diraja Malaysia pernah mendata orang Bajau Pela'u ini dan membuatkan mereka semacam surat keterangan identitas kolektif sekeluarga dalam selembar kertas putih berisi foto keluarga yang diberi nomor pada tiap orang dan daftar nama dari anggota keluarga itu di bawahnya. Tapi itu pun tidak lantas membuat mereka mendapat pengakuan sebagai warga negara Malaysia. Ya, mereka adalah warga bumi yang tidak punya kewarganegaraan. Orang-orang bebas yang hidup sebagaimana cara hidup nenek moyang mereka.
    Mereka mencari hidup di perairan ini dengan meninggalkan asalnya karena tidak tahan lagi dengan perampokan yang dilakukan oleh suku-suku tertentu di Filipina Selatan yang bersenjata langkap. Mereka masuk ke Malaysia karena perbatasannya begitu dekat dan secara tradisional adalah wilayah pergerakan mereka yang 'sah' menurut adat nenek moyang mereka. Kerabat mereka yang sudah mukim dapat mereka temui disana. Di Malaysia mereka mengeluhkan petugas keamanan yang tidak bersahabat. Jika mereka kedapatan berada didarat sejenak sajapun mereka akan dideportasi ke Filipina setelah menjalani kurungan badan dan hukuman cambuk di penjara Malaysia.
    Pada tanggal 12 Maret 2010 aparat kepolisian resort Berau mengumpulkan mereka di Desa Batuputih dan kemudian membawa mereka ke Tanjung Redeb ibukota Kabupaten Berau melalui darat. Meskipun mereka sudah terbiasa dan tahan terhadap goncangan ombak di laut, ternyata mereka tidak tahan dengan goyangan kendaraan darat yang membuat banyak di antara mereka muntah akibat mabuk darat.
    Hidup orang Bajau Pela'u memang terpusat pada perahunya. Lahir, beranak-pinak, dan mati di atas perahu. Halaman 'rumahnya' adalah air laut dan hamparan karang. Mereka tidak pernah mandi secara khusus tetapi senantiasa basah oleh air laut. Itulah sebabnya ketika dipisahkan dengan laut dan perahunya badan mereka menjadi lemah dan segera ada yang jatuh sakit. Sudah sepuluh hari mereka 'ditahan' di tempat penampungan Dinas Sosial Kabupaten Berau. Bukan hanya fisik mereka yang sakit oleh keadaan sekeliling yang bukan habitat asli mereka, bayangkan mereka telah meminta didatangkan air laut untuk air mandi mereka dan makanan orang darat pun tidak sesuai dengan tenggorokan mereka, jiwa mereka juga sudah tersiksa oleh nasib yang tidak menentu.
    Kapolres yang telah memerintahkan 'penahanan' ini bersikukuh untuk mendeportasi orang Bajau Pela'u ini ke Malaysia melalui Tarakan dengan memisahkan mereka dengan perahunya, meskipun Pemerintah Kabupaten Berau telah memperoleh pernyataan dari Pemerintah Sabah yang tidak mengakui mereka sebagai warga Malaysia, begitupula pernyataan serupa dari Pemerintah Filipina. Sebegitu ngototnya sehingga meskipun seluruh unsur Muspida Pemerintah Berau, termasuk Kejaksaan, Pengadilan, DPR dan berbagai unsur masyarakat bersepakat untuk mengalokasi 'pemukiman' orang Bajau Pela'u di Tanjung Buaya-buaya di Desa Batuputih dan menjadikannya warga negara Indonesia, Kapolres ini tetap berkeinginan mendeportasi orang Bajau Pela'u ke Tawau.
    Keinginan keras Kapolres ini dinilai semua kalangan sebagai tindakan berlebihan dengan mengatasnamakan penegakan aturan hukum. Padahal, ketika semua unsur masyarakat dan pemerintah memilih untuk memukimkan mereka di Batuputih dan menjadikannya warga negara, sesungguhnya mereka telah berpihak kepada hati nurani yang melihat persoalan ini lebih jernih dari sudut pandang perikemanusiaan.
    Orang Bajau Pela'u sendiri berkeinginan kuat untuk tetap tinggal dan menjadi warga negara Indonesia. Mereka menyatakan bahwa jika mereka dipaksa untuk dideportasi mereka lebih memilih ditembak mati ditempat karena sudah tahu bahwa jika mereka dideportasi ke Malaysia mereka akan di penjarakan dan pada akhirnya dideportasi lagi ke Filipina. Hal yang telah mereka hindari dengan menyabung nyawa datang ke wilayah ini.
    Sesungguhnya orang-orang Bajau yang berasal dari Filipina telah menetap di pulau-pulau Derawan, Maratua, Balikukup dan lainnya paling lambat tahun 1920an. Tetua yang masih hidup, misalnya Abd. Kadir Bin Muhammad Kamang (68) yang lahir di Pulau Balikukup pada tahun 1942, tahu bahwa orang tuanya datang dari Tawi-tawi Filipina bersama dengan beberapa orang lainnya yang kemudian tinggal menyebar di pulau-pulau tersebut. Abdul Kadir adalah anak kelima dan saudara tertuanya lahir pada awal 1930an. Sepanjang ingatan masa kecilnya Bajau Pela'u dan Bajau Kubang sudah bolak-balik antara Filipina dan wilayah ini (1950an) sebagaimana juga dengan sanak keluarganya dari Tawi-tawi. Kemerdekaan negara-negara modern seperti RI, Malaysia, dan Filipina yang kemudian menyekat mereka diantara garis-garis batas negara, yang sesungguhnya bagi pemahaman orang seperti Bajau Pela'u ini adalah absurd dan tidak dapat menghalangi orang secara fisik untuk bergerak dilautan bebas.
    Pulau Balikukup pada tahun 1950an telah mencapai puncak kejayaan ekonominya yang digerakkan terutama oleh orang-orang Bajau yang rajin mengumpulkan hasil laut yang laku dipasaran ekspor seperti sirip ikan hiu, teripang, dan kihampau (ikan pari tutul yang kecil), serta membuat kopra. Hasil-hasil ini dibawa ke Surabaya, Tawau dan juga Tawi-tawi untuk kopra. Ada lima keluarga keturunan Tionghoa yang membuka usaha di Pulau Balikukup sebagai pedagang hasil laut, kopra dan bahkan sarang burung walet, juga kedai kopi, pandai emas dan tukang gigi. Pedagang keturunan Banjar dan Bugis pun juga ada disini. Kemakmuran ini kemudian tercium oleh perompak Sulu dari Filipina selatan dari hilir mudiknya orang bajau antara Filipina dan wilayah ini, yang kemudian melakukan perampokan-perampokan di Pulau Balikukup pada tahun 1955, 1957 dan 1958.
   Jadi jelaslah bahwa bagi orang Bajau pergerakan melalui laut adalah hal yang sudah semestinya, sehingga orang Bajau tersebar keberadaannya diseluruh nusantara. Kalau sekarang orang Bajau kebanyakan sudah menetap di desa-desa pantai dan sudah ada juga yang berkebun sayur-sayuran dan kelapa, itu adalah adaptasi yang mesti mereka lakukan untuk bertahan hidup. Tapi tidak semua orang dapat atau mau mengikuti arus perubahan jaman itu. Orang Bajau Pela'u adalah orang-orang yang memilih ataupun terpaksa hidup diatas perahu dengan segala kerugian dan keuntungan yang sudah mereka pertimbangkan secara bawah-sadar-kolektif mereka.
   Jika kita dapat bebas memilih jalan hidup kita, mengapa kita tidak bisa memberi kebebasan kepada mereka untuk menentukan hidup mereka pula. Apa hak kita mendikte mereka hanya berdasar pada kepongahan kita menganggap mereka terbelakang dengan cara hidup seperti itu. Penulis telah tiga kali berkesempatan menumpang hidup diatas perahu mereka dan menikmati hidup bersahaja bersama mereka. Rasanya tidak ada yang salah apalagi terbelakang jika kita mau berhenti mengukur dengan standar modern kita yang terlalu tinggi dan konsumptif.
   Kini, 103 orang Bajau Pela'u sedang menderita di penampungan sosial di Berau dan menunggu penentuan nasib mereka. Penderitaan mereka dapat segera diakhiri dengan mengirim mereka kembali ke laut dan perah-perahu mereka, membiarkan mereka menetap di perairan antara Batuputih dan Pulau Balikukup. Kalaupun keputusan akhir belum diambil, kita tidak perlu khawatir mereka akan melarikan diri. Jika diminta kepada mereka untuk menunggu saya yakin mereka akan menunggu. Mereka adalah orang-orang yang penurut dan cinta damai. Tak pernah sekalipun saya mendengar pertengkaran terjadi diantara mereka selama saya bersama mereka. Kalaupun terjadi itu pasti sangat jarang.
   Saya ingin menghimbau agar persoalan ini didudukkan pada kerangka perikemanusiaan dan pertimbangan cermat atas usaha melestarikan sebuah kebudayaan bahari yang sudah terancam punah, mengingat bahwa tidak ada lagi suku bangsa di dunia ini yang memilih hidup diatas perahu kecuali Bajau Pela'u.



Selanjutnya »

Sabtu, 06 Februari 2010

Tuak dan Badik

Kelompok peminum/penggemar tuak yang dulu saya pernah kenal terdiri dari 6 orang, semua pria dewasa yang punya keluarga anak dan isteri punya penghasilan tetap dari usaha non formal mulai dari agen roko, penjual coto makassar, penjual beras eceran dan ada juga yang kerja serabutan alias makelar.
<span id="fullpost">
Sehari -hari semua anggota kelompok pasti membawa badik yang diselipkan dipinggang, badik biasanya berbagai ukuran ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan setiap saat siap membela diri jika ada yang coba mengganggu.
Pertama kali ngintil dibelakang kelompok ini karena merasa tertarik dengan perilaku mereka yang kelihatan jantan and macho, kelompok ini selalu minum tuak di lokasi yang tidak jauh dari rumah tempat kami tinggal.
Tuak yang sering diminum adalah tuak yang di fermentasi dari beras disebut Ballo Ase ( Ballo=tuak, Ase= beras) atau B.A. Juragan pemeras tuak juga seorang yang kelihatan jantan karena berkepala gundul, badan tinggi besar, perut gendut dan selalu membawa badik yang besar dan lebar disebut Badik Lompo Battang (Lompo= besar Battang= Gendut) kepala gundulnya selalu di tutupi dengan batik penutup kepala bernama (Passapu) mirip blankon kalau di Jawa, bersuara parau lebih sering tampil dengan bertelanjang dada.
Tuak yang sudah jadi dimasukkan kedalam botol keramik yang sedikit langsing dengan mulut botol kecil dan leher botol pendek disebut “Botolo Kurambu”, karena botol terbuat dari keramik maka tentu saja tidak tembus pandang. Kalau penulis ingat-ingat kembali cara pembuatan tuak itu pastilah tidak higyenis.
Para peminum tuak bisa membeli dan membawa tuaknya ke tempat lain atau minum ditempat juragan tuak. Kalau mau aman dan lebih eksklusif maka lebih baik dipesan saja dan minum dalam kelompok sendiri. Kelompok peminum yang sering saya ikuti ini memilih tempat yang eksklusif kalau tuak habis dengan segera memanggil anak-anak yang ada disekitarnya untuk membeli tambahan.
Pertama kali mencium bau tuak maka akan terasa bau merangsang yang tidak enak tetapi setelah terekspose dua atau tiga kali maka bau tuak terasa harum dan menarik kita untuk mencoba. Tuak biasanya diminum bersama ikan bakar yang disebut dalam istilah Bi’Bikang (camilan)ikan yang paling sering adalah anak ikan hiu. Pertama kali melihat dan mencium bau tuak bersama anak ikan hiu bakar yang disajikan baunya memang tidak enak karena ada bau tuak plus bau anyir ikan hiu bakar yang dibakar begitu saja tidak diberi bumbu sama sekali. Tapi melihat orang yang minum tuak sambil makan camilan hiu bakar kelihatannya nikmat sekali.
Karena bau tuak lebih harum saya mencoba minum tapi rasa tuak itu tidak enak, terasa asam dilidah jadi saya tidak melanjutkan minum tuak itu that’s it, cukup begitu saja, untuk mencoba hiu bakar aku juga tidak berminat karena kesenanganku adalah ikan goreng.
Kelompok peminum ini akan minum dan ngobrol ngalor ngidul dan makin lama mereka minum berarti minuman makin bertambah mereka akan jadi mabuk, kalau sudah mabuk maka bahan diskusipun makin jorok, ada yang membicarakan tentang pengalaman berhubungan intim ada pula yang curhat karena semalam di tolak oleh isteri. Ada juga yang mulai memuji kehebatan dirinya dan badiknya, biasanya badik dikeluarkan dan ditancapkan di meja. Ada beberapa macam badik yang saya kenal misalnya Badik La gecong (berbentuk kecil langsing) biasanya berukuran kurang dari sejengkal, katanya sangat berbisa dan mematikan, ada badik Luwuk (badik ini punya warna gelap dan ada guratan-guratan antik yang menarik untuk dilihat dan terasa berwibawa) ukuran lebih besar dari La gecong. Sebagai catatan; membawa badik pada waktu itu adalah hal yang biasa saja.
Selama masa mabuk dan curhat inilah yang paling rawan karena kalau mereka minum ditempat minum yang umum berarti ada kelompok lain yang berperilaku sama sehingga bisa terjadi duel dan biasanya pasti makan korban.
Solidaritas kelompok sangat tinggi misalnya ada yang mengeluh tentang gangguan oleh jagoan dari tempat lain maka segera mereka memutuskan melawan atau mau mencari bantuan kemana agar bisa mendatangi kelompok penggangu tadi.
Senang mengenal mereka karena mereka selalu menawarkan bantuan kata mereka kalau ada yang ganggu kamu disekolah kasih tau saja, nanti kita sikat.
Mereka semua sudah tidak ada dan saya pikir semuanya meninggal dalam usia 40-50 tahun, mungkin ini akibat dari kebiasaan minum tuak ? wallahu alam
</span>
Selanjutnya »

Bila Kawinnya Punkers Berlangsung ala Adat Boegis

Tak seperti biasanya, siang itu, sebuah upacara perkawinan yang digelar di Teteaji, Sidrap menyedot perhatian warga sekitar. Tak hanya dihadiri para undangan, laki dan perempuan baik dewasa maupun anak-anak pun ikut menyemut di sekitar rumah Uga, sang pengantin perempuan.
Uga, gadis manis di kampung ini, sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang amat dicintainya. Budi, nama pria itu. Berwajah ganteng dan bertampang keren. Tapi, bukan keserasian pasangan itu yang memancing antusiasme para warga. Budi adalah seorang punker tulen..
“Warga mau tau, gimana perkawinan seorang punker sejati dengan cewek yang keluarganya teguh memegangi tradisi,” tutur Uga yang keturunan bangsawanan Bugis ini.
Benar. Ketika iringan pengantin datang, warga betul-betul dibuat kagum. Budi tidak menanggalkan atribut dan identitasnya sebagai punker. Piercing dan tindik tetap menghiasi bagian tubuhnya. Tak lupa sepatu bot yang khas membungkus kedua kakinya.
Uniknya, Budi rela membalut tubuhnya dengan pakaian pengantin ala adat kerajaan Bugis. Jas tutup, sarung bugis dan songkok tutup kepala khas Bugis. Ia pun membawa berbagai erang-erang, barang bawaan pengantin laki-laki berisi pakaian perempuan dan cincin kawin yang diletakkan di ujung paruh burung yang terbuat dari kain sarung. Mengiringi sang penganting, beberapa orang tua berpakaian adat. Tapi yang lebih mengundang senyum para warga adalah kehadiran puluhan para punker beratribut lengkap yang ikut mengiringi sang calon pengantin.
“Saya harus bisa negosiasi dengan aturan adat yang penting, tapi bukan berarti identitas itu kita lepas,” ujar Budi menimpali penuturan sang istri.
Apa yang dituturkan Budi bukan sekedar ungkapan retoris. Bagi Budi, perlu pejuangan panjang untuk memperoleh restu calon mertuanya yang teguh memegangi tradisi Bugis. Bahkan katanya perkawinan bisa kandas bila ia tidak pandai-pandai mengambil hati si calon mertua. Maklum, ayah Uga sempat meminta Budi meninggalkan dunia punk yang digelutinya.
“Boleh Pak. Saya akan keluar dari punk tapi saya tidak menjamin bisa memberi makan anak bapak,” ujar Budi setengah menggertak. Setelah berdialog panjang, rupanya orang tua Uga pun mulai mengalah dan menerima Budi apa adanya. “Asal dalam proses perkawinan pengantin laki-laki harus mengikuti beberapa prosesi adat,” ujar Uga menirukan ucapan ayahnya. Akhirnya antara kedua belah pihak pun tercapai kata sepakat.
Keteguhan punker yang tetap berada di luar jalur mainstream ini menarik disimak. Bagi punker macam Budi ini, praktek alienasi bukan hanya oleh kapitalisme industrial, tapi juga belenggu adat. Namun perlawanan itu tidak bisa dilakukan secara frontal. “Kondisi di Jakarta berbeda dengan Makasar-Bugis, adat di sini masih kental. Norma-norma yang membelenggu harus dilawan tapi dengan cara negosiasi,” tandas Killy, seorang punker yang baru dua minggu mudik dari Jakarta ini.
Punk dan tradisi lokal
Strategi perlawanan punker Makasar-Bugis nampak berbeda dengan pemberontakan punk yang selama ini diangkat dalam berbagai tulisan. Pemikir Cultural Studies semacam Hebdige, Hall dan Jeferson lebih banyak mengangkat perlawanan komunitas punk terhadap kelompok kelas menengah-atas. Punk hadir dalam kontradiksinya dengan gaya dan kebiasaan kelas menengah. Rambut klimis tersisir rapi dilawan dengan model mohawk. Tubuh bersih dengan pakaian rapi dilawan dengan tubuh penuh tatto, pearcing, tindik dan pakaian acak-acakan. Musik jaz dan musik klasik dikontraskan dengan musik punk yang hinggar-bingar dengan lirik-lirik sinis. Dengan demikian ada garis batas tegas yang membelah antar kelompok-kelompok sosial ini.
Kondisi berbeda rupanya dihadapi komunitas punk Makasar-Bugis. Mereka tidak sekedar bergumul dengan kapitalisme dan komodifikasi, tapi juga tradisi lokal dimana mereka hidup di dalamnya. Kondisi-kondisi inilah nampaknya yang membuat mereka membangun strategi yang lebih negosiatif dan adaptif ketimbang perlawanan totalnya.
Hal ini terlihat, misalnya, dalam lirik lagu-lagu para punker. Menurut penuturan Malik, seorang punker yang masih tercatat sebagai mahasiswa UIN Alauddin ini, para punker kerap menggunakan lagu-kagu Bugis dalam pertunjukan atau album-album mereka. Namun tentu saja, katanya, lagu-lagu itu berlirik perlawanan dengan diiringi warna musik yang hinggar-bingar.
Mungkin karena kemampuan mereka menempatkan diri ini yang membuat Spart-Toys di Sungguminasa bisa eksis dan bertempat di belakang Balla Lompoa. Bahkan tempat mereka biasa mangkal menjadi bagian dari rumah adat Gowa itu. []




Selanjutnya »

Jumat, 05 Februari 2010

Suku Bugis

Suku Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Di samping suku asli, orang-orang Melayu dan Minangkabau yang merantau dari Sumatera ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di kerajaan Gowa, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak 6 juta jiwa. Kini suku Bugis menyebar pula di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. Bugis merupakan salah satu suku yang taat dalam mengamalkan ajaran Islam.

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Selanjutnya »

 

counters