Sabtu, 06 Februari 2010

Tuak dan Badik

Kelompok peminum/penggemar tuak yang dulu saya pernah kenal terdiri dari 6 orang, semua pria dewasa yang punya keluarga anak dan isteri punya penghasilan tetap dari usaha non formal mulai dari agen roko, penjual coto makassar, penjual beras eceran dan ada juga yang kerja serabutan alias makelar.
<span id="fullpost">
Sehari -hari semua anggota kelompok pasti membawa badik yang diselipkan dipinggang, badik biasanya berbagai ukuran ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan setiap saat siap membela diri jika ada yang coba mengganggu.
Pertama kali ngintil dibelakang kelompok ini karena merasa tertarik dengan perilaku mereka yang kelihatan jantan and macho, kelompok ini selalu minum tuak di lokasi yang tidak jauh dari rumah tempat kami tinggal.
Tuak yang sering diminum adalah tuak yang di fermentasi dari beras disebut Ballo Ase ( Ballo=tuak, Ase= beras) atau B.A. Juragan pemeras tuak juga seorang yang kelihatan jantan karena berkepala gundul, badan tinggi besar, perut gendut dan selalu membawa badik yang besar dan lebar disebut Badik Lompo Battang (Lompo= besar Battang= Gendut) kepala gundulnya selalu di tutupi dengan batik penutup kepala bernama (Passapu) mirip blankon kalau di Jawa, bersuara parau lebih sering tampil dengan bertelanjang dada.
Tuak yang sudah jadi dimasukkan kedalam botol keramik yang sedikit langsing dengan mulut botol kecil dan leher botol pendek disebut “Botolo Kurambu”, karena botol terbuat dari keramik maka tentu saja tidak tembus pandang. Kalau penulis ingat-ingat kembali cara pembuatan tuak itu pastilah tidak higyenis.
Para peminum tuak bisa membeli dan membawa tuaknya ke tempat lain atau minum ditempat juragan tuak. Kalau mau aman dan lebih eksklusif maka lebih baik dipesan saja dan minum dalam kelompok sendiri. Kelompok peminum yang sering saya ikuti ini memilih tempat yang eksklusif kalau tuak habis dengan segera memanggil anak-anak yang ada disekitarnya untuk membeli tambahan.
Pertama kali mencium bau tuak maka akan terasa bau merangsang yang tidak enak tetapi setelah terekspose dua atau tiga kali maka bau tuak terasa harum dan menarik kita untuk mencoba. Tuak biasanya diminum bersama ikan bakar yang disebut dalam istilah Bi’Bikang (camilan)ikan yang paling sering adalah anak ikan hiu. Pertama kali melihat dan mencium bau tuak bersama anak ikan hiu bakar yang disajikan baunya memang tidak enak karena ada bau tuak plus bau anyir ikan hiu bakar yang dibakar begitu saja tidak diberi bumbu sama sekali. Tapi melihat orang yang minum tuak sambil makan camilan hiu bakar kelihatannya nikmat sekali.
Karena bau tuak lebih harum saya mencoba minum tapi rasa tuak itu tidak enak, terasa asam dilidah jadi saya tidak melanjutkan minum tuak itu that’s it, cukup begitu saja, untuk mencoba hiu bakar aku juga tidak berminat karena kesenanganku adalah ikan goreng.
Kelompok peminum ini akan minum dan ngobrol ngalor ngidul dan makin lama mereka minum berarti minuman makin bertambah mereka akan jadi mabuk, kalau sudah mabuk maka bahan diskusipun makin jorok, ada yang membicarakan tentang pengalaman berhubungan intim ada pula yang curhat karena semalam di tolak oleh isteri. Ada juga yang mulai memuji kehebatan dirinya dan badiknya, biasanya badik dikeluarkan dan ditancapkan di meja. Ada beberapa macam badik yang saya kenal misalnya Badik La gecong (berbentuk kecil langsing) biasanya berukuran kurang dari sejengkal, katanya sangat berbisa dan mematikan, ada badik Luwuk (badik ini punya warna gelap dan ada guratan-guratan antik yang menarik untuk dilihat dan terasa berwibawa) ukuran lebih besar dari La gecong. Sebagai catatan; membawa badik pada waktu itu adalah hal yang biasa saja.
Selama masa mabuk dan curhat inilah yang paling rawan karena kalau mereka minum ditempat minum yang umum berarti ada kelompok lain yang berperilaku sama sehingga bisa terjadi duel dan biasanya pasti makan korban.
Solidaritas kelompok sangat tinggi misalnya ada yang mengeluh tentang gangguan oleh jagoan dari tempat lain maka segera mereka memutuskan melawan atau mau mencari bantuan kemana agar bisa mendatangi kelompok penggangu tadi.
Senang mengenal mereka karena mereka selalu menawarkan bantuan kata mereka kalau ada yang ganggu kamu disekolah kasih tau saja, nanti kita sikat.
Mereka semua sudah tidak ada dan saya pikir semuanya meninggal dalam usia 40-50 tahun, mungkin ini akibat dari kebiasaan minum tuak ? wallahu alam
</span>
Selanjutnya »

Bila Kawinnya Punkers Berlangsung ala Adat Boegis

Tak seperti biasanya, siang itu, sebuah upacara perkawinan yang digelar di Teteaji, Sidrap menyedot perhatian warga sekitar. Tak hanya dihadiri para undangan, laki dan perempuan baik dewasa maupun anak-anak pun ikut menyemut di sekitar rumah Uga, sang pengantin perempuan.
Uga, gadis manis di kampung ini, sedang melangsungkan pernikahan dengan seorang pemuda yang amat dicintainya. Budi, nama pria itu. Berwajah ganteng dan bertampang keren. Tapi, bukan keserasian pasangan itu yang memancing antusiasme para warga. Budi adalah seorang punker tulen..
“Warga mau tau, gimana perkawinan seorang punker sejati dengan cewek yang keluarganya teguh memegangi tradisi,” tutur Uga yang keturunan bangsawanan Bugis ini.
Benar. Ketika iringan pengantin datang, warga betul-betul dibuat kagum. Budi tidak menanggalkan atribut dan identitasnya sebagai punker. Piercing dan tindik tetap menghiasi bagian tubuhnya. Tak lupa sepatu bot yang khas membungkus kedua kakinya.
Uniknya, Budi rela membalut tubuhnya dengan pakaian pengantin ala adat kerajaan Bugis. Jas tutup, sarung bugis dan songkok tutup kepala khas Bugis. Ia pun membawa berbagai erang-erang, barang bawaan pengantin laki-laki berisi pakaian perempuan dan cincin kawin yang diletakkan di ujung paruh burung yang terbuat dari kain sarung. Mengiringi sang penganting, beberapa orang tua berpakaian adat. Tapi yang lebih mengundang senyum para warga adalah kehadiran puluhan para punker beratribut lengkap yang ikut mengiringi sang calon pengantin.
“Saya harus bisa negosiasi dengan aturan adat yang penting, tapi bukan berarti identitas itu kita lepas,” ujar Budi menimpali penuturan sang istri.
Apa yang dituturkan Budi bukan sekedar ungkapan retoris. Bagi Budi, perlu pejuangan panjang untuk memperoleh restu calon mertuanya yang teguh memegangi tradisi Bugis. Bahkan katanya perkawinan bisa kandas bila ia tidak pandai-pandai mengambil hati si calon mertua. Maklum, ayah Uga sempat meminta Budi meninggalkan dunia punk yang digelutinya.
“Boleh Pak. Saya akan keluar dari punk tapi saya tidak menjamin bisa memberi makan anak bapak,” ujar Budi setengah menggertak. Setelah berdialog panjang, rupanya orang tua Uga pun mulai mengalah dan menerima Budi apa adanya. “Asal dalam proses perkawinan pengantin laki-laki harus mengikuti beberapa prosesi adat,” ujar Uga menirukan ucapan ayahnya. Akhirnya antara kedua belah pihak pun tercapai kata sepakat.
Keteguhan punker yang tetap berada di luar jalur mainstream ini menarik disimak. Bagi punker macam Budi ini, praktek alienasi bukan hanya oleh kapitalisme industrial, tapi juga belenggu adat. Namun perlawanan itu tidak bisa dilakukan secara frontal. “Kondisi di Jakarta berbeda dengan Makasar-Bugis, adat di sini masih kental. Norma-norma yang membelenggu harus dilawan tapi dengan cara negosiasi,” tandas Killy, seorang punker yang baru dua minggu mudik dari Jakarta ini.
Punk dan tradisi lokal
Strategi perlawanan punker Makasar-Bugis nampak berbeda dengan pemberontakan punk yang selama ini diangkat dalam berbagai tulisan. Pemikir Cultural Studies semacam Hebdige, Hall dan Jeferson lebih banyak mengangkat perlawanan komunitas punk terhadap kelompok kelas menengah-atas. Punk hadir dalam kontradiksinya dengan gaya dan kebiasaan kelas menengah. Rambut klimis tersisir rapi dilawan dengan model mohawk. Tubuh bersih dengan pakaian rapi dilawan dengan tubuh penuh tatto, pearcing, tindik dan pakaian acak-acakan. Musik jaz dan musik klasik dikontraskan dengan musik punk yang hinggar-bingar dengan lirik-lirik sinis. Dengan demikian ada garis batas tegas yang membelah antar kelompok-kelompok sosial ini.
Kondisi berbeda rupanya dihadapi komunitas punk Makasar-Bugis. Mereka tidak sekedar bergumul dengan kapitalisme dan komodifikasi, tapi juga tradisi lokal dimana mereka hidup di dalamnya. Kondisi-kondisi inilah nampaknya yang membuat mereka membangun strategi yang lebih negosiatif dan adaptif ketimbang perlawanan totalnya.
Hal ini terlihat, misalnya, dalam lirik lagu-lagu para punker. Menurut penuturan Malik, seorang punker yang masih tercatat sebagai mahasiswa UIN Alauddin ini, para punker kerap menggunakan lagu-kagu Bugis dalam pertunjukan atau album-album mereka. Namun tentu saja, katanya, lagu-lagu itu berlirik perlawanan dengan diiringi warna musik yang hinggar-bingar.
Mungkin karena kemampuan mereka menempatkan diri ini yang membuat Spart-Toys di Sungguminasa bisa eksis dan bertempat di belakang Balla Lompoa. Bahkan tempat mereka biasa mangkal menjadi bagian dari rumah adat Gowa itu. []




Selanjutnya »

Jumat, 05 Februari 2010

Suku Bugis

Suku Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Di samping suku asli, orang-orang Melayu dan Minangkabau yang merantau dari Sumatera ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di kerajaan Gowa, juga dikategorikan sebagai orang Bugis.[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak 6 juta jiwa. Kini suku Bugis menyebar pula di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. Bugis merupakan salah satu suku yang taat dalam mengamalkan ajaran Islam.

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
Selanjutnya »

 

counters